Sabtu, 16 Mei 2015

TANGGUNGJAWAB HAKIM DAN IJTIHAD HAKIM

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam dan penguasa jagad raya. Serta shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan yang selalu mengaharapkan syafaatnya di yaumul kiamah. Penulis sangat bersyukur atas tugas mata  kuliah hadis hukum sehingga makalah mengenai ”TANGGUNGJAWAB HAKIM DAN IJTIHAD HAKIM” dapat terselesaikan dengan baik. Penulis yakin bahwa dalam terselesaikannya makalah ini tidak luput dari bantuan berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian makalah ini masih jauh dari sempurna dan  banyak kekurangan pada materi dan tampilan yang ada dalam makalah ini. Oleh karena itu besar harapan penulis atas kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna untuk penyempurnaan makalah ini.
Penulis berharap semoga tujuan pembuatan makalah ini dapat tercapai sesuai yang diharapkan dan menjadi sebuah persembahan yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga pembahasan ini bermanfaat bagi para pembaca dan mampu menambah wawasan untuk pengetahuaan dan menjadi alat pencerah mengembangkan pembangunan masyarakat.

Sungguminasa, 29 Maret 2015

                                                                    Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………...
BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………………………
LATAR BELAKANG …………………………………………………………..
RUMUSAN MASALAH ………………………………………………………
MANFAAT PENULISAN ………………………………………………………
TUJUAN PENULISAN …………………………………………………………
BAB II : PEMBAHASAN …………………………………………………………………...
TANGGUNG JAWAB HAKIM …………………………………………………
IJTIHAD HAKIM ………………………………………………………………...
BAB III : PENUTUP …………………………………………………………………………
KESIMPULAN ……………………………………………………………………
SARAN ……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………….



BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Menjadi hakim tidaklah mudah dalam Islam. Dia haruslah seorang yang berilmu, jujur, berani dan istiqomah dalam kebenaran, karena dia harus memutuskan perkara dengan ilmu dan kebenaran yang hakiki. Begitu beratnya menjadi hakim, sampai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengingatkan di dalam hadits yang bersumber dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa diangkat sebagai hakim, ia telah disembelih dengan pisau." Riwayat Ahmad dan Imam Empat (Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Nasa’i). Hadits shahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Hadits di atas mengingatkan kepada siapapun yang menjadi hakim, bahwa tugasnya itu merupakan amanat yang sangat berat. Apabila ia mampu memikulnya dengan benar, maka ia selamat, tetapi bila ia tidak mampu, bahkan dia permainkan hukum itu dengan semena-mena dan tidak memutuskan dengan benar maka ia telah menjerumuskannya kedalam jurang api neraka.
Oleh karena itu seorang hakim harus dengan sungguh-sungguh menghakimi dengan hukum yang benar, sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Karena apabila dia telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka dia akan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Begitupun ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang berat atau tidak ringan dibidang hukum. Jadi, apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai dengan kebenaran maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar yang ia putuskan. Dan apabila seorang hakim hendak berijtihad dan ia merasa telah benar namun ternyata salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala ijtihadnya, karena ibadah mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak terdapat ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash dalam Alquran atau Sunnah.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana tanggung jawab hakim yang berhubungan dengan hadis?
Bagaimana ijtihad hakim yang ada dalam hadis?

TUJUAN PENULISAN
Untuk memudahkan pembaca dalam mengetahui tanggung jawab dan ijtihad hakim yang berhubungan dengan hadis dalam hokum.
MANFAAT PENULISAN
Dapat membantu pembaca dalam mengetahui tanggung jawab dan ijtihad hakim yang berhubungan dengan hadis dalam hukum.









BAB II
PEMBAHASAN
TANGGUNGJAWAB HAKIM (BM. 1410)
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga menjelaskan kepada kita bahwa hakim itu ada tiga macam, yaitu hakim yang tahu kebenaran dan memutuskan dengan dengan benar, lalu hakim yang tahu kebenaran tapi dia tidak memutuskan dengan benar, dan hakim yang tidak tahu kebenaran dan dia memutuskan dengan ketidaktahuan, padahal dia orang tidak memahami kebenaran. Dua golongan terakhir ini termasuk golongan neraka.

Materi Hadis

عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ (رواه أبو داود و التردذي و ابن ماجة)
Artinya:
(Hadis diriwayatkan) dari Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw. Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surge, dan dua yang masuk neraka. Adapun yang masuk surge adalah seorang (hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka, dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy dan Ibn Majah).

Takhrij al-Hadits
Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-qadhi yakhth’ , hadis no. 3102.
Al-Turmudziy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a ‘an Rasulullah fi al-qadha, hadis no. 1244.
Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab al-hakim yajtahid fa yushib al-haq, hadis no. 2306.

Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis
(BURAIDAH)
Nama lengkapnya adalah Buraidah bin al-Hushaib bin ‘Abdullah bin al-Harits al-Aslamiy, dijuluki dengan Abu ‘Abdullah. Buraidah masuk Islam sebelum terjadi perang Badar, namun ia tidak ikut berjuang di Perang Badar. Keterlibatannya dalam perang nanti terjadi Perang Khaibar, dan Penaklukkan Makkah. Buraidah dipekerjakan Nabi saw. untuk mengumpulkan shadaqah kaumnya. Ia tinggal di Madinah, kemudian pindah ke al-Bashrah, lalu pindah ke Marwi dan wafat di sana.
Menurut Ibn Hajr al-Asqalaniy, Ibn al-Sakan mengisahkan bahwa namanya adalah ‘Amir. Al-Hakim mengatakan, Buraidah masuk Islam setelah Nabi kembali dari Perang Badar. Jadi, Buraidah termasuk sahabat Nabi yang masuk Islam pada awal-awal keberadaan Nabi di Madinah.
Buraidah meriwayat hadis langsung dari Nabi saw. Selanjutnya, riwayat hadis itu diterima oleh periwayat lain sebagai muridnya, antara lain : anaknya bernama ‘Abdullah, Sulaiman, ‘Abdullah bin Aus al-Khuza’iy, al-Sya’biy, al-Malih bin Usamah dan lain-lain.
Menurut Muhammad bin Sa’ad, Buraidah wafat tahun 63 H. pada masa pemerinthan Khalifha Yazid bin Mu’awiyah.
Arti Kosakata dan Syarahan Hadits
Adapun arti beberapa kosakata  hadis ini, dapat dikemukakan, yaitu antara lain:
1. Kata الْقُضَاةُ  , jamak dari قاضى  yaitu hakim, yang mengadili perkara, atau yang memutuskan permasalahan hukum dari orang-orang yang berperkara.
2. Kalimat  فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ, seseorang yang mengetahui al-haq (kebenaran). Maksudnya, memiliki pengetahuan tentang cara-cara menyelesaikan perkara dan mengetahui mana pihak yang benar dan mana yang salah.
3. Kalimat  فَجَارَ فِي الْحُكْمِ , yakni menyimpang dari kebenaran, sengaja menyembunyikan hal yang diketahuinya.
4. Kalimat   قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ, artinya hakim yang memutuskan perkara tidak dilandasi dengan pengetahuan, tetapi memutuskan berdasarkan kebodohannya, sekalipun yang diputuskannya itu benar.
Hakim merupakan unsur yang sangat penting dalam penyelenggaraan peradilan, dan dipandang sebagai salah satu profesi yang mulia, serta sangat menentukan di lembaga yudikatif. Pengertian Hakim yang sesungguhnya dalam Islam adalah yang menjadi sumber hukum, yaitu Allah sebagai pembuat hukum (Syari’). Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-A’raf : 87
((((( ((((( (((((((((( (((((((( (((((((((( (((((((((( (((((((((( ((((( (((((((((((( (((( ((((((((((( ((((((((((((( (((((( (((((((( (((( ((((((((( ( (((((( (((((( (((((((((((((( ((((  
Terjemahnya:
“Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, Maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya.”
Dalam pengertian yang lain, hakim juga diartikan dengan pejabat yang memimpin persidangan.  Hakim yang memutuskan hukuman bagi terdakwa. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan.  Hakim disebut pula pelaksana undang-undang atau hukum di suatu Negara Islam.  Hakim dalam kaitan dengan peradilan Islam disebut qadhi, jamaknya qudhat, sebagai pelaksana hukum. Qadhi berusaha menyelesaikan perkara yang diperhadapkan padanya, baik yang menyangkut dengan hak-hak pribadi seseorang atau kepentingan umum.
Qadha’ menurut bahasa berarti menetapkan hukum suatu urusan dan penyelesaiannya. Menurut Syariat berarti menjelaskan hukum syariat, melaksanakan dan menyelesaikan berbagai macam perselisihan. Dasar pensyariatan qadha’ (pengadilan) ini adalah al-Kitab (Alquran), al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Dasarnya dalam al-Kitab, seperti firman Allah dalam QS.Shad: 26,
((((((((((( ((((( ((((((((((( ((((((((( ((( (((((((( ((((((((( (((((( (((((((( ((((((((((( (((( (((((((( (((((((((( (((((((((( ((( ((((((( (((( ( (((( ((((((((( ((((((((( ((( ((((((( (((( (((((( ((((((( ((((((( ((((( ((((((( (((((( ((((((((((( ((((  
Terjemahnya:
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Begitu juga firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 49
(((((( ((((((( ((((((((( (((((( ((((((( (((( (((( (((((((( (((((((((((((( (((((((((((((( ((( ((((((((((( (((( (((((( (((( ((((((( (((( (((((((( ( …  
Terjemahnya:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu….”
Dasarnya dalam al-Sunnah juga banyak sekali, di antaranya hadis yang  disebutkan di atas, atau hadis tentang pahala ijtihad bagi hakim , jika benar mendapat dua pahala jika salah mendapat satu pahala. Orang-orang Muslim juga sudah menyepakati pensyariatannya. Qiyas juga mengharuskan keberadaannya, sebab berbagai keadaan tidak akan berjalan normal kecuali dengan qadha’ dan ia merupakan fardhu kifayah.
Qadha’ memiliki keutamaan yang besar bagi orang yang mampu menegakkan dan memenuhi kebenaran di dalam hukum. Karena itulah Allah tetap memberikan pahala dalam  qadha’ meskipun ada kekeliruan dan memaafkan keputusan yang salah darinya, karena di dalamnya ada perintah kepada yang ma’ruf, menolong orang yang dizhalimi, memberikan hak kepada orang yang berhak mendapatkannya, mencegah kezhaliman orang yang zhalim, memperbaiki keadaan manusia dan membebaskan sebagian mereka dari sebagian yang lain.
Karena itulah Rasulullah saw. dan para nabi sebelumnya juga diangkat sebagai qadhi, sehingga mereka membuat keputusan hukum bagi umatnya masing-masing. Rasulullah juga mengutus ‘Ali bin Abi Thalib pergi ke Yaman dan juga Mu’adz bin Jabal sebagai qadhi. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud pernah berkata, “Aku lebih suka duduk sebagai qadhi di antara dua orang yang berselisih daripada mengerjakan ibadah selama tujuh puluh tahun.”
Namun begitu, Qadhi juga tidak lepas dari bahaya dan dosa yang besar bagi yang tidak menunaikan kebenaran hukum. Karena itulah banyak ulama salaf yang menolak keras ketika diangkat menjadi qadhi, karena mereka tidak dapat menjamin tidak timbulnya bahaya akibat keputusannya.
Hadis berikut ini menceritakan tiga tipologi hakim, satu di antaranya masuk surga dan dua tipe yang lain masuk nereka.

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ,
“ (Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surga, dan dua yang masuk neraka).”

Berdasarkan hadis ini  ternyata profesi hakim adalah profesi yang mulia sekaligus mengandung resiko yang mengkhawatirkan. Jabatan hakim dapat mengantar seseorang ke surga atau justru jabatan hakim itu juga akan menjerumuskan sang hakim ke dalam neraka.

فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ ,
“(Adapun yang masuk surge adalah seorang (hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu).”

Kriteria hakim yang dijanjikan masuk surga menurut hadis ini adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran yang diketahuinya, maka ia akan masuk surga. Dari sini dipahami bahwa seorang hakim harus memiliki kemampuan intelektual yang baik, mengetahui kebenaran dan mampu menetapkan hukum sesuai dengan kebenaran yang diketahuinya.

وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ,
“(dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka).”
Jenis hakim berikutnya adalah seorang hakim yang sebenarnya dia mengetahui kebenaran, akan tetapi karena dipengaruhi oleh hawa nafsu, dunia dan  materi, atau karena dendam kepada seseorang, maka ia pun menyimpang atau menyembunyikan kebenaran itu lalu memutuskan perkara tidak sesuai dengan kebenaran yang diketahuinya, maka ia masuk neraka.

وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّار,
“(dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya maka ia masuk neraka).”

Tipe hakim yang terkakhir adalah hakim yang bodoh, yang tidak mengetahui pengetahuan terhadap perkara yang sedang dihadapinya, tetapi ia tetap berani menetapkan keputusan, maka jenis hakim yang begini juga akan masuk neraka. Walaupun putusan yang diambil itu ternyata benar, ia tetap diancam dengan neraka, karena ketidaktahuannya dalam mengambil putusan.
Dengan demikian, hakim yang akan bebas dari neraka adalah hakim yang memiliki kapasitas intelektual dan integritas pribadi yang baik. Dengan kapasitas intelektual yang dimilikinya, hakim itu dapat mengetahui kebenaran yang terkait dengan kasus yang dihadapinya. Sedangkan integritas kepribadian, bahwa ia berani dan mampu memutuskan perkara atas dasar pengetahuan yang dimilikinya, serta tidak terpengaruh oleh emosi atau dendam pribadi pada seseorang.
Sehubungan dengan itu, Alquran memerintahkan manusia memutuskan perkara berdasarkan pengetahuan tentang kebenaran, dan tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah seperti yang difirmankan Allah dalam QS. Al-Nisa’: 105.
(((((( ((((((((((( (((((((( ((((((((((( ((((((((((( (((((((((( (((((( (((((((( (((((( ((((((( (((( ( (((( ((((( (((((((((((((((( (((((((( (((((  
Terjemahnya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. Hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi saw. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.
Ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. agar menetapkan hukum di antara manusia, tanpa melihat perbedaan suku, bangsa dan agama, atas dasar kebenaran yang telah diajarkan Allah kepada beliau. Ayat tersebut menurut Ibn Katsir sebagai dasar bagi Muhammad saw. untuk menetapkan hukum berdasarkan ijtihad,sedangkan menurut al-Maraghi yang dimaksud adalah penggunaan wahyu dan nalar memutuskan perkara.
Dengan demikian, jabatan hakim pada dasarnya merupakan jabatan yang mulia karena hakim adalah seorang yang diberi amanah untuk menegakkan hukum dan keadilan di antara orang-orang yang bersengketa, yang melanggar aturan masyarakat, dan yang melawan aturan agama dan Negara. Sebagai imbalan atas keberhasilan hakim menegakkan kebenaran dan keadilan sudah sepantasnya Allah menjanjikan surga.
Di sini lain,  tugas mengadili dan menjatuhkan hukuman adalah tugas yang berat dan penuh resiko. Setiap pihak yang berperkara menghendaki agar perkaranya dimenangkan atau dibebaskan dari segala tuntutan dan beban yang memberatkannya. Untuk mencapai tujuan, kadang pihak yang berperkara mendatangkan saksi palsu, atau mengemukakan bukti yang tidak sesungguhnya, dan segala macam cara untuk mempengaruhi hakim mengambil keputusan. Hal seperti ini menjadikan jabatan hakim mengandung resiko yang berat, baik ancaman hukum di dunia, ataupun ancaman masuk neraka.
Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :

Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia, karena hakimlah yang akan mengadili dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam masyarkat. Namun, jabatan itu tidak mudah dijalankan karena mengandung resiko yang berat.
Hakim dibagi dalam tiga kategori, satu saja yang masuk surge, sedangkan dua macam lainnya akan menjadikan hakim masuk neraka.
Hakim yang masuk surge yaitu hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran itu.
Hakim yang masuk neraka, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak memutuskan perkara menurut kebenaran yang diketahuinya. Sedangkan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, juga akan masuk neraka, sekalipun putusannya itu ternyata benar.

IJTIHAD HAKIM (LM. 1118, 1121)
“Ijtihad” Sangat erat kaitannya dengan Fatwa Dan putusan sebagai produk hokum. Dalam islam kedua hal tersebut dianjurkan berijtihad (seseorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut islam bila seseorang berijtihad tapi hasilnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala. Dan bila hasil ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, ya’ni satu pahala ijtihad,dan satu lagi pahala kebenaran yang di dapat.
Fatwa merupakan sebagai hasil ijtihad, dimana seorang mujtahid mengistinbatkan hokum baik untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi,dan terkadang mengenaihal yang belum terjadi.sedankan fatwa mengenai hal-hal yng telah terjadi.
Materi Hadis

عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ(رواه البخاري و مسلم وغيرهما)
    Artinya :
“(Hadis diriwayatkan)  dari ‘Amr bin al-‘Ash sesungguhnya beliau mendengar Rasul Allah saw. bersabda : “Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad  kemudian benar, baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan perkara dan berijtihad kemudian salah baginya satu pahala. (H.R. al-Bukhariy, Muslim dan selainnya).”

Takhrij al-Hadits
Al-Bukhary, kitab al-I’tisham, bab ajr hakim idza ijtahada fa ashaba aw akhtha’, hadis no. 6805
Muslim, kitab al-aqdhiyah hadis no 15, bab bayyin ajr hakim idza ijtahada fa ashaba aw akhtha’, hadis no. 3240
Abu Dawud, kitab al-aqdhiyah, bab fi al-qadhi yakhtha’, hadis no. 3103
Al-Turmudzy, kitab al-ahkam, bab ma ja’a fi qadhi yashib wa yakhtha’, hadis no. 1248
Ibn Majah, kitab al-ahkam, bab 3, atau hadis no. 2305
Ahmad bin Hanbal, jilid II, h. 187, IV, h. 198, 204, 205. Kitab musnad al-muktsirin min al-shahabah, bab musnad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash, hadis no. 6466, kitab musnad al-Syamin, bab hadits ‘Amr bin al-Ash ‘an al-Nabiy, 17106,17148

C.  Biografi Singkat Sahabat Nabi Periwayat hadis
(‘AMR BIN AL-ASH)
Nama lengkapnya adalah Amr bin al-Ash bin Wa’il bin Hasyim (w.34 H).Amr bin al-Ash pada mulanya adalah salah seorang kaum Quraisy yang sangat menentang Islam, tetapi setelah perang Badar dia masuk Islam bersama Khalid bin Walid. Amr termasuk sahabat Nabi yang pemberani dan  cerdas. Allah telah membuka pintu hati Amr bin al-Ash untuk memeluk Islam. Semangat jihad dan dakwah Islam semakin menggelora setelah Amr bin al-Ash bergabung dengan pasukan Islam.  Dialah yang membebaskan Mesir dari kekuasaan Ramawi. Jasa Amr bin al-Ash dalam pembebasan Mesir sangat besar, sehingga ada yang mengatakan bahwa saat itu kalau Amr belum masuk Islam Mesir belum mengenal Islam. Mesir ketika itu masih dalam pengaruh dua kekuatan besar yaitu Ramawi dan Persia. Amr bin al-Ash pada masa Nabi termasuk salah seorang sahabat yang dipercayakan Nabi untuk menjadi hakim (qadhy).
Di samping menerima hadis langsung dari Nabi SAW. Beliau juga meriwayatkan hadis dari Husail bin Bashrah bin Waqqas, dan Umar bin al-Khaththab. Selanjutnya banyak periwayat yang menerima riwayat hadis dari Amr bin al-Ash di antaranya : Abu al-Munib, Abu Dzabyah, Abu Abd Allah, Ja’far bin Abd al-Muthallib, Hayyi bin Haniy’, Dzikwan, Syarhabil, Abd al-Rahman bin Tsabit Maula Amr bin al-Ash (Abu Qais), Abd al-Rahman bin Jubair, Abd Allah bin Abi al-Hudzail, dan lain-lain. Sedangkan dari segi kapasitas pribadinya beliau adalah salah seorang sahabat yang adil dan terpercaya.      
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Amr bin al-Ash merupakan sahabat Nabi yang memiliki dedikasi yang tinggi terhadap Islam sehingga sering Nabi menyuruhnya menyelesaikan perkara-perkara  hukum.

  Arti Kosakata dan Syarahan Hadits
Adapun arti beberapa kosakata  hadis ini, dapat dikemukakan, antara lain:
Kalimat فَاجْتَهَدَ, lalu ia (hakim) berijtihad. Ijtihad menurut bahasa dari kata   جهد  bermakna al-musyaqqah (sulit). Maksudnya pengerahan segenap kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.
Kalimat فَأَصَابَ, ijtihad yang dilakukan benar,  menunjukkan bahwa pembenaran ijtihad kalau sesuai dengan hukum Allah.
Kalimat فَلَهُ أَجْرَان berarti memperoleh dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar. . Dalam riwayat Ahmad yang  lain disebut sepuluh kebaikan (عَشَرَةُ أُجُور) jika benar dan satu atau dua (لَهُ أَجْرٌ أَوْ أَجْرَان ) kebaikan jika salah.
Sedangkan pengertian  فَلَهُ أَجْرmenurut al-Khathaby bahwa pahala diberikan sekalipun salah karena berijtihad mencari kebenaran adalah suatu ibadah.
Ijtihad menurut Ibn al-Hajib adalah : upaya sungguh-sungguh untuk menghasilkan suatu ketetapan sesuai hukum syar’iy. Dan menurut al-Qadhy al-‘Iyadh  ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran.
Dalam kaitan dengan pengertian menurut istilah, ijtihad menurut mayoritas ulama ushul fiqh adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa (1) Pelaku ijtihad adalah seorang ahli hukum bukan yang lain, (2) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’iy yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku atau perbuatan orang-orang mukallaf, bukan hukum I’tiqadi atau hukum khuluqi, (3) Status hukum syar’iy yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila dipahami lebih jauh definisi ijtihad di atas maka dapat dinyatakan bahwa ijtihad hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hal ini Jalal al-Din al-Mahalli dalam Jama’u al-Jawami’ berkomentar bahwa yang ijtihad bila dimutlakkan maka ijtihad itu hanya diperuntukkan pada bidang hukum fiqih/ hukum furu’.
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara orang yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini dipelopori oleh al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap disiplin ushul fiqh, tetapi juga akan berimplikasi pembenaran terhadap berbagai aqidah yang dhalal (sesat). Lantaran itulah jumhur ulama telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum Islam dengan ketentuan-ketentuan tertentu.
Dari uraian di atas menunjukkan ijtihad dipergunakan untuk sesuatu yang berat atau tidak ringan dibidang hukum. Untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan yang terpenting adalah : (1) Memiliki  ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum, (2) Mengetahui hadis-hadis Rasul yang berhubungan dengan hukum, bahwa ia sanggup membahas  hadis-hadis tersebut untuk menggali hukum, (3) Menguasai masalah yang berhubungan  dengan ijma’ agar ia tidak berijtihad dengan hasil yang bertentangan dengan ijma’. (4) Mengetahui qiyas secara mendalam dan dapat dipergunakan untuk menggali hukum. (5) Menguasai bahasa Arab secara mendalam. (6) Mengetahui secara mandalam tentang nasikh-mansukh. (7) Mengetahui asbab al-nuzul ayat dan asbab al-wurud al-hadits, agar via mampu melakukanb istinbath hukum secara tepat. (8) Mengetahui sejarah para periwayat hadis, supaya ia dapat menilai kualitas suatu hadis, apakah diterima atau ditolak. (9) Mengetahui ilmu logika/manti1. (10) Mengetahui kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu masalahyang. Oleh karenanya tidak mungkin pekerjaan ijtihad itu dilakukan sembarang orang.
Dalam Islam ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan. Banyak ayat Alquran dan Hadis Nabi yang menyinggung persolan ini. Bahkan Islam bukan saja memberi legalisasi terhadap ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hadis ijtihad. Salah satu hadis yang dimaksudkan adalah hadis yang sedang dibahas ini :
          
        حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْر ا اذ
“(Apabila seorang hakim memutuskan perkara lalu ia berijtihad  kemudian benar, baginya dua pahala, dan apabila ia memutuskan perkara dan berijtihad kemudian salah baginya satu pahala.)”
Hadis ini bukan saja memberi legalitas ijtihad, tetapi juga metolerir perbedaan pendapat sekalipun itu pendapat yang keliru. Prinsip ini diperpegangi oleh para imam mujtahid, bahwa sebuah pendapat benar  ada kemungkinan salah dan pendapat yang salah ada kemunginan benar. Dari redaksi hadis di atas menurut Al-Qurtuby hadis ini mendahulukan hukum dari ijtihad tetapi pelaksanaannya adalah ijtihad lebih didahulukan kemudian hukum, jadi tidak boleh penetapan hukum dahulu sebelum berijtihad. Jadi kalimat اذا حكم  bermakna apabila seseorang hendak menetapkan hukum maka ia perlu berijtihad. Hal ini diperkuat oleh pernyataan ulama ushul :
يجب على المجتهد أن يجدد النظر عند النازلة  وقوع
“(wajib bagi muijtahid memperbaharui pandangannya karena  munculnya peristiwa lain).”
Hadis ini menurut al-Shan’aniy menjadi dalil bahwa syarat seorang hakim adalah mujtahid. Maksudnya, seorang hakim harus bisa berijtihad. Sedangkan Imam al-Nawawy mengomentari kalimat اذا حكم   dts. bahwa menurut konsensus ulama yang harus menjadi hakim adalah mereka yang mengerti tentang hukum.Adapun mereka yang tidak memiliki kemampuan di bidang hukum lalu berijtihad bukan pahala yang diterima tetapi dosa, sekalipun putusan yang ditetapkannya benar atau salah. Sebab kebenarannya itu tidak bersumber dari  syari’ah, dan itu ditolak hasilnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nabi yang lain yaitu :

عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ وَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ وَاثْنَانِ فِي النَّارِ فَأَمَّا الَّذِي فِي الْجَنَّةِ فَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ فَجَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Artinya:
“(Hadis diriwayatkan) dari Ibn Buraidah dari ayahnya dari Nabi saw. Bersabda: “Hakim itu terbagi tiga macam, satu yang masuk surge, dan dua yang masuk neraka. Adapun yang masuk surge adalah seorang (hakim) yang mengetahui kebenaran kemudian memutuskan perkara berdasarkan kebenaran itu, dan seorang (hakim) mengetahui kebenaran tetapi putusannya menyalahi hukum maka ia masuk neraka, dan seseorang (hakim) yang mengadili manusia karena kebodohannya maka ia masuk neraka. (H.R. Abu Dawud, al-Turmudziy dan Ibn Majah).”

Kebolehan ijtihad yang dilakukan menurut al-Mubarakfuri adalah masalah furu’iyah (cabang) yang terdapat pandangan yang berbeda, tidak pada masalah ushuliyah (pokok) yang menjadi rukun syari’ah (ushul al-ahkam) yang tidak boleh ada pandangan berbeda dan tidak boleh mentakwilkannya. Jika ijtihad dilakukan dalam masalah ushul al-ahkam kemudian salah maka hal itu tetap tidak ada pahalanya.
Sebab hadis ini diriwayatkan sehubungan dengan peristiwa telah menghadap dua orang yang berperkara,lalu Nabi SAW. bersabda kepada ‘Amr bin Ash : “Adililah mereka berdua ini wahai ‘Amr ? Jawab ‘Amr : Engkau lebih utama dariku ya Rasulullah, jawab Nabi : Lakukan yang telah aku perintahkan, kalau engkau mengadili mereka sama dengan aku yang mengadili, Sabda beliau :

ان انت قضيت بينهما فاصبت القضاء فلك عشر حسنات , وان انت اجتهدت فاخطات فلك حسنة .
“Jika engkau memutuskan perkara mereka dan benar maka engkau mendapat sepuluh kebaikan dan jika engkau berijtihad dan salah maka engkau mendapat satu kebaikan”.

Jadi, apabila seorang hakim berijtihad dan hasil ijtihadnya itu sesuai dengan kebenaran maka dia akan mendapat imbalan di sisi Allah dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala karena benar yang ia putuskan. Dan apabila seorang hakim hendak berijtihad dan ia merasa telah benar namun ternyata salah maka pahalanya satu saja yaitu pahala ijtihadnya, karena ibadah mencari kebenaran. Ijtihad dilakukan bagi perkara yang tidak terdapat ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah atau pemahaman dalil dari nash dalam Alquran atau Sunnah.
Mengingat pentingnya berijtihad maka menurut Abu al-Fadhl Abady dalam syarah Awn al-Ma’bud, tidak boleh seorang mujtahid bertaqlid terhadap hasil putusan hakim lain, dan tidak boleh seorang Imam mempengaruhinya. Oleh karena itu menurutnya, untuk menjadi seorang mujtahid paling tidak ia menguasai lima disiplin ilmu, yaitu:
Ilmu Kitab Allah (Ulum al-Qur’an),
Ilmu Sunnah Rasul Allah (Ulum al-Hadis) dan pendapat ulama salaf yang mereka sepakati dan diperselisihkan,
Ilmu Bahasa,
Ilmu Qiyas, yaitu metode istinbat hukum dari Alquran al-Sunnah apabila tidak diperoleh kejelasan nash dari Alquran-Sunnah atau ijma’,
Wajib juga mengetahui ilmu  lain yang berhubungan dengan Alquran yakni Ilmu nasikh-mansukh, mujmal-mufassar, khash-‘am, muhkam-mutsyabih, makruh-haram, mubah-nadab, juga yang berhubungan dengan Sunnah, yakni shahih-dha’if, musnad-mursal, mengetahui sunnah yang menjelaskan Alquran atau sebaliknya, mengetahui sunnah yang bernuansa hukum syari’ah, mengetahui uslub bahasa yang dipakai oleh Alquran dan Sunnah,mengetahui aqwal al-shahabah, tabi’in mengenai hukum, mengetahui fatwa-fatwa fuqaha sehingga putusannya tidak bertentangan dengan pandangan mereka, mengetahui ijma’. Jika ia menguasai setiap aspek ini maka ia seorang mujtahid jika ia tidak menguasai cukup baginya taqlid.
Dengan begitu , syarat ini menjadi tolok ukur berpahala atau tidaknya suatu ijtihad.
Memang kedengarannya ijtihad sebagai sesuatu yang amat eksklusif karena hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu yang benar-benar memenuhi syarat. Syarat-syarat itu sekarang boleh jadi dipandang kuno, namun menurut Nurcholish Madjid syarat itu dibuat untuk menjamin adanya kewenangan (kompotensi) dan tanggungjawab (accountability),sebuah produk hukum.Oleh karena itu ijtihad dapat dilakukan oleh siapa saja asalkan memiliki persyaratan seperti yang dikemukakan di atas.
Akhirnya sebagaimana tercermin dalam hadis ini mengenai motivasi berijtihad merupakan hal yang amat penting dalam perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Sebab perkembangan dan pertumbuhan menunjukkan adanya vitalitas, sedangkan kemandekan berarti berhentinya spirit ijtihad. Dengan begitu, dinamika ijtihad selalu mengiringi dinamika dan perkembangan hukum, seiring dengan perkembangan zaman. Dalam dinamika tersebut tidak perlu takut salah, karena salah pun masih dihargai sebagai suatu pengabdian kepada Allah.

Pokok-pokok Kandungan Hukum Hadis   

Berdasarkan keterangan dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapatlah ditarik beberapa kandungan pokok hadis ini, yaitu :
1. Hadis tentang ijtihad hakim diriwayatkan oleh Amr bin al-Ash yang juga terkait langsung dengan sebab wurud hadis ini. Amr bin al-Ash merupakan salah satu sahabat Nabi yang sering ditunjuk Nabi untuk menyelesaikan beberapa kasus hukum.
2. Nilai sebuah ijtihad yang dapat mendatangkan kebaikan atau pahala apabila dilakukan oleh seorang hakim atau mujtahid yang benar-benar kompoten dan bertanggungjawab terhadap hasil ijtihadnya. Bila dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka hasilnya tidak akan bernilai pahala menurut hadis ini.
3. Hadis ini memberi motivasi kepada para praktisi hukum untuk sedapat mungkin melakukan ijtihad seiring dengan dinamika dan perkembangan hukum dalam masyarakat.














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Jabatan hakim merupakan jabatan yang mulia, karena hakimlah yang akan mengadili dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi dalam masyarkat. Namun, jabatan itu tidak mudah dijalankan karena mengandung resiko yang berat. Hakim dibagi dalam tiga kategori, satu saja yang masuk surge, sedangkan dua macam lainnya akan menjadikan hakim masuk neraka. Hakim yang masuk surga yaitu hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara sesuai dengan kebenaran itu. Hakim yang masuk neraka, yaitu hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak memutuskan perkara menurut kebenaran yang diketahuinya. Sedangkan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebodohannya, juga akan masuk neraka, sekalipun putusannya itu ternyata benar.
Adapun Hadis tentang ijtihad hakim diriwayatkan oleh Amr bin al-Ash yang juga terkait langsung dengan sebab wurud hadis ini. Amr bin al-Ash merupakan salah satu sahabat Nabi yang sering ditunjuk Nabi untuk menyelesaikan beberapa kasus hukum. Nilai sebuah ijtihad yang dapat mendatangkan kebaikan atau pahala apabila dilakukan oleh seorang hakim atau mujtahid yang benar-benar kompoten dan bertanggungjawab terhadap hasil ijtihadnya. Bila dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka hasilnya tidak akan bernilai. Hadis ini memberi motivasi kepada para praktisi hukum untuk sedapat mungkin melakukan ijtihad seiring dengan dinamika dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

SARAN
Seorang hakim harus dengan sungguh-sungguh menghakimi dengan hukum yang benar, sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Karena apabila dia telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka dia akan memperoleh pahala dari Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Begitupun dalam berijitihad harus dilakukan dengan benar-benar karena nilai sebuah ijtihad yang dapat mendatangkan kebaikan atau pahala apabila dilakukan oleh seorang hakim atau mujtahid yang benar-benar kompoten dan bertanggungjawab terhadap hasil ijtihadnya. Bila dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat maka hasilnya tidak akan bernilai pahala.
DAFTAR PUSTAKA

Bahan 1 Kuliah Hadis Pidana dan Ketatanegaraan Pak Darsul Puyu
http://jeritansangpenyair.blogspot.com/2010/04/ijtihad-hakim-agama-dalam-konteks-uu.html
http://www.penerbitakbar.com/tazkiyatun-nafs/127-tanggung-jawab-hakim























MAKALAH HADIS HUKUM
”TANGGUNG JAWAB HAKIM DAN IJTIIHAD HAKIM”






OLEH :
HPK1-2
Nining Kameliah
10300113013

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASAAR
SYARI’AH & HUKUM
PIDANA & KETATANEGARAAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar